Tuesday, October 16, 2012

MISYKATUL ANWAR

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله


** Cahaya **


Allah itu cahaya, dan yang lain dari Dia tidak ada cahaya. 
Setiap cahaya adalah Dia, dan cahaya keseluruhan adalah Dia juga. 

Cahaya itu adalah sesuatu yang men-dzahirkan atau yang menampakkan yang lain  atau lebih tinggi lagi yaitu sesuatu yang dengannya dan untuknya yang lain di-dzahirkan bahkan lebih tinggi dari itu lagi yaitu sesuatu yang dengannya untuk dirinya dan dirinya yang lain ter-dzahirkan.

Cahaya yang sebenarnya ialah sesuatu yang dengannya, untuknya, dan diri yang lain itu ter-dzahirkan atau ternampakan. 
Cahaya ialah yang bercahaya dengan sendirinya. 
Cahaya itu timbul dalam dirinya, dari dirinya dan untuk dirinya. 
Cahaya tidak datang dari sumber yang lain. 
Cahaya yang demikian itu tidak lain tidak bukan hanya Allah saja. 
Bahwa langit dan bumi ini dipenuhi oleh cahaya, ada dua peringkat cahaya, yaitu pandangan mata dan pandangan akal.
Cahaya yang pertama itu ialah apa yang kita lihat di langit seperti matahari, bulan dan bintang,  dan apa yang kita lihat di bumi, seperti cahaya yang menerangi seluruh muka bumi, yang menampakkan semua warna dan bentuk,  binatang,  tumbuh-tumbuhan dan benda-benda lainnya, dan jika tiada cahaya ini maka tidaklah kita melihat warna, atau tidak ada warna. 
Tiap-tiap bentuk dan ukuran besar atau kecil yang terlihat oleh kita adalah diketahui oleh warna,  dan tidak mungkin melihatnya tanpa warna. 
Berkenaan cahaya Akal, maka ‘Alam tinggi’ itu dipenuhi oleh cahaya itu, yaitu seperti kejadian Malaikat,  dan ‘Alam rendah’  ini pun dipenuhi oleh cahaya itu yaitu seperti hidup (Nyawa) binatang dan hidup manusia. 
Susunan atau keadaan Alam rendah ini didzahirkan dengan cahaya Malaikat. 
Inilah susunan atau keadaan yang disebut oleh Allah; 
“Dialah yang membentuk kamu dari tanah,  dan menampakkan kamu di permukaan bumi, dan Dia menjadikan kamu sebagai Khalifah”

Bahwa seluruh alam ini dipenuhi oleh cahaya pandangan dzahir dan cahaya Akal Batin,  dan juga cahaya-cahaya tingkat rendah ini dipancarkan  atau dikeluarkan dari satu kepada yang lain.  seperti cahaya yang keluar dan muncul dari sebuah lampu,  sementara  lampu itu sendiri ialah cahaya
Cahaya Kenabian yang tinggi. Ruh-ruh Kenabian itu dinyalakan dari Ruh-ruh yang tinggi,  seperti lampu dinyalakan api tadi,  dan ruh-ruh yang tinggi ini dinyalakan dari satu kepada yang lain.
Susunan ini adalah bertingkat-tingkat keatas. Semua ini naik, dan naik ke atas sampai ke cahaya  diatas segala cahaya.  Sumber dan puncak segala cahaya yaitu Allah. 
Semua cahaya-cahaya lain adalah pinjaman dari Allah dan Dialah cahaya sebenarnya. segalanya datang dari cahayaNya,  bahkan Dialah segala-galanya. 
Dialah yang sebenarnya ada. Tiada cahaya kecuali Dia. Cahaya yang lain hanya cahaya wajah yang menyertaiNya, bukan timbul dari diri mereka sendiri. dengan demikian, wajah dan segala sesuatunya menghadap kepada Dia
Firman Allah; “Kemana saja mereka memalingkan muka,  di situ ada Wajah Allah”.
Tiada Tuhan selain Dia,  karena perkataan “TUHAN” itu menunjukkan sesuatu yang kepada Nya semua muka menghadap dalam ibadah dan dalam penyaksian Dialah Tuhan. 
Saya (Imam Ghazali) mengartikan muka atau wajah manusia adalah hati manusia,  karena hati itulah cahaya dan Ruh. 
Bahkan sebagaimana; “TIADA YANG DISEMBAH MELAINKAN DIA”, maka begitulah juga ; “TIADA YANG MENYEMBAH SELAIN DIA”, karena perkataan “DIA” itu membawa maksud sesuatu yang boleh ditunjuk
Tetapi dalam tiap-tiap peristiwa dan keadaan kita boleh menunjuk saja. 
Setiap kali menunjuk sesuatu,  tunjukkan itu pada hakekatnya adalah kepada Dia,  meskipun  tidak sadar oleh karena ketidak tahuan tentang hakekat dari segala hakekat,  
Seseorang itu tidak mungkin menunjuk cahaya matahari, tetapi boleh menunjuk matahari. 
Maka begitu juga halnya dengan hubungan semua makhluk dengan Allah. 
Perumpamaan hubungan makhluk dengan Allah adalah seperti hubungan cahaya matahari dengan matahari. 
Oleh karena itu,  ucapan “TIADA TUHAN SELAIN ALLAH”  adalah ucapan Tauhid kebanyakan orang. 
Tetapi ucapan tauhid sedikit orang (yang mempunyai Makrifat) ialah “TIDAK ADA DIA MELAINKAN DIA”. 
Yang pertama untuk orang awam, dan yang kedua itu untuk “orang khusus”.  
Yang kedua itu lebih benar, lebih tepat dan lebih sesuai. sudah sewajarnya orang yang mengucap demikian  itu memasuki Alam Keesaan (Uluhiyah) dan Ketunggalan yang Maha suci dan Mutlak,  Kerajaan Yang Maha Esa dan Maha Tunggal,  dan inilah peringkat atau kedudukan terkahir kenaikkan manusia. Tidak ada tingkatan yang lebih tinggi dari itu lagi.  karena “NAIK” itu melibatkan banyak tingkatan seperti melibatkan dua tingkatan naik “DARI” dan naik “KE”. 
Apabila jumlahnya tingkatannya telah lenyap,  maka berdirilah Keesaan. 
Perbandingan tidak ada lagi, semua isyarat atau pengucapan dari  “SINI”  ke  “SANA”  pun tidak ada lagi. Tidak ada lagi  “TINGGI”  atau “RENDAH”.  Tidak ada  “ATAS”  atau  “BAWAH”. 
Dalam tingkatan tersebut, naik ke atas lagi bagi Ruh,  tidak mungkin,  karena tidak ada lebih tinggi daripada yang Paling tinggi. 
Tidak ada tingkat-tingkat di samping Esa dan Tunggal. 
Di sini tingkatan telah habis. 
Tidak ada kenaikkan ‘Mikraj’ lagi untuk jiwa dan ruh. 
Jika ada pun, itu adalah “Pertukaran disini”. 
Maka pertukaran itu ialah “Turun ke langit yang paling rendah” cahayanya dari atas turun kebawah,  karena yang paling tinggi itu,  meskipun tidak ada lebih tinggi lagi dari tingkat itu,  tetapi ada yang rendah.  Inilah matlumat (tempat paling tinggi) dari segala matlumat. 
Tempat paling tinggi ialah matlumat terakhir yang dicari oleh ruh,  yang diketahui oleh mereka yang tahu dan kenal saja,  tetapi dinafikan oleh mereka yang tidak tahu.  Ini termasuk dalam bidang Ilmu Tersembunyi yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali orang yang mempunyai Makrifat.  
Sekiranya mereka menceritakan ilmu ini,  maka ia akan dinafikan oleh orang-orang yang ‘jahil’ tentang Allah. 
Tidak ada salahnya orang-orang yang mempunyai Makrifat ini menyebut; “Turun ke langit yang paling rendah” yaitu turunnya seorang malaikat, meskipun seorang daripada mereka itu telah tuduh membuat keterangan yag kurang wajar. 
Dia tenggelam dalam Keesaan Allah, dan berkata,  bahwa Allah telah  “Turun ke langit paling rendah”  bahwa penurunan ini adalah penurunannya,  diibaratkan kepada cara-cara keadaan Alam dzohir,  maka digunakan perumpamaan tersebut. 
Dia (orang yang tenggelam dalam Keesaan Allah itu) itulah yang dimaksudkan oleh sabda Nabi Muhammad saw.; 
“Aku menjadi telinganya yang dengannya dia mendengar, matanya yang dengannya dia melihat, lidahnya yang dengannya dia bercakap”. 
Jika Nabi itu menjadi telinga, mata dan lidah Allah, maka Allah sajalah yang mendengar,  melihat, bercakap.  
Dialah juga yang dimaksudkan dengan dengan firmanNya kepada Nabi Musa; 
“Aku sakit,  tetapi engkau tidak mengunjungi Aku”. 
Menurut ini,  pergerakan badan orang-orang yang betul-betul beriman dengan Kesaan Allah itu adalah dari langit yang paling rendah itu,  dan Akalnya dari langit yang lebih tinggi dari langit yang kedua itu. 
Dari langit Akal itu dia naik ke atas  ke tempat di mana  makhluk tidak boleh naik lagi, yaitu Kerajaan Ketuhanan Yang Maha Esa, 
Tujuh lapis dan setelah itu “Dia duduk di atas singgahsana” tauhid dan disitu “Memerintah” seluruh lapisan-lapisan langit itu. 
Orang telah tamat pengembaraan sedemikian rupa,  maka ayat ini boleh dipakai kepada dia; “Allah menjadikan Adam menurut bayanganNya” Apabila ayat ini direnungi dan difikirkan secara mendalam,  maka diketahulah bahwa maksudnya adalah serupa dengan kata-kata; 
“Akulah Yang Haq (Tuhan)”.  “Maha suci Aku” atau sabda  Nabi saw.
bahwa Allah berfirman; 
“Aku sakit,  tetapi engkau tidak mengunjungi Aku” dan “Akulah telinganya, matanya dan lidahnya”. 
Baiknya sekarang kita hentikan pembahasan ini karena saya (Imam Ghazali) pikir saudara belum pernah mendengar lebih dari apa yang telah saya sampaikan ini.

Ingat Diri


Sebenar-benar diri kita ialah Roh diri kita sendiri.
Orang-orang yang lupa pada diri itu berarti orang yang lupa kepada roh.
Orang yang lupa kepada roh berarti orang yang lupa kepada Allah dan orang yang lupa kepada Allah,
termasuk kedalam golongan orang yang tidak mengenal diri.
Bilamana kita tidak dapat mengenal diri maka tidaklah ia dapat mengenal Allah.
“Tidak kenal Allah, maka tidak akan ingat kepada Allah”
Bagi mereka yang telah mengenal diri, tidak akan mereka menjadi lupa kepada roh.
Mereka yang tidak lupa kepada diri itu tandanya mereka tidak lupa kepada tuhannya Allah Ta’ala.
Allah berfirman: “Keluarlah engkau dari Surga ini, karena tidak pantas engkau berlaku sombong (lupa diri) di dalamnya; oleh sebab itu keluarlah, sesungguhnya engkau dari golongan yang hina”.
Mereka yang duduk didalam surga (mengenal diri) tidak seharusnya ada sifat lupa.
Bila lupa akan diri, itu tandanya sombong. Bila sombong menyebabkan lupa diri, bila lupa diri, maka lupa pula kepada Allah.
Bagi yang masih ada menyimpan sifat lupa kepada diri artinya juga menyimpan sifat lupa kepada Allah. Apabila kita lupa kepada Allah, menyebabkan kita keluar dari surga Allah. Sebagaimana yang terjadi kepada Adam dan Hawa, ketika memakan buah khuldi.
Ingkarnya Adam dan Hawa daripada perintah Allah dengan memakan buah khuldi itu, tidak menyebabkan murka Allah. Yang menjadi kemurkaan Allah ialah lupa kepada Allah selama memakannya.
Durhaka untuk mematuhi “INGAT” kepada Allah itu, adalah satu perkara yang tidak dapat diampunkan Allah.
Dosa lupa dan lalai itu, menandakan kita telah mensyirikkan Allah.
Karena lupa untuk memandang kepada diri sendiri menyebabkan kita lupa kepada Allah, apabila lupa kepada Allah menyebabkan kita tersingkir dari nikmat surga.
Apabila kita lupa untuk memandang kepada diri sendiri dengan sendirinya membuatkan kita lupa untuk memandang Allah. Bilamana lupa untuk memandang Allah, menyebabkan hati kita mudah terpaut untuk memandang dunia sebagai tuan.
Apabila kita tidak dapat menikmati nikmat “INGAT” kepada Allah tidaklah Allah itu dapat terdzahir pada sekalian alam.
Bilamana Allah tidak dapat didzahirkan atau dinyatakan itulah yang dikatakan lupa atau lalai.
Karena lupa atau lalai kepada Allah walaupun sesaat, Syaidina Ali menyebut dirinya “Kafir”
Begitu besarnya martabat atau derajat ingat kepada Allah. Apabila kita telah dapat mengenal diri Walaupun kita telah dapat nikmat surga Allah, namun surga dan nikmat mengenal diri itu, lebih baik dan lebih bahagia dari surga akhirat.
Surga akhirat nikmatnya hanya akan dapat dinikmati semasa di alam akhirat saja. Sadangkan surga mengenal diri itu, akan dapat dinikmati selama hayat masih berada didalam dunia hingga sampai kealam akhirat.
Nikmat surga dunia dan surga akhirat itu adalah bagi mereka-mereka yang tidak lupa kepada Allah

Enhanced by Zemanta

No comments: